Poscyber (Citeureup) – Calon Bupati (Cabup) Bogor nomor urut 1 Rudy Susmanto melakukan gunting pita makam Mbah Pangeran Sake dan Mbah Dalam Machsan di Desa Karang Asem Timur, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor pada Rabu (9/10/24).
Gunting pita tanda selesainya merhab atau rekonsturksi bangunan peneduh makam dan bertujuan untuk memberikan tempat duduk bagi peziarah.
Rudy Susmanto juga didampingi tokoh agama KH. Ahmad Daman Huri serta masyarakat setempat. Sebelum gunting pita acara diawali pembacaan doa.
Rudy Susmanto tampak khusyuk mengikuti prosesi dari mulai pengguntingan pita, mendoakan alrmarhum dan menabur bunga. Prosesi pertaman dilakukan di Mbah Dalam Machsan. Kemudian hal yang sama dilakukan di Mbah Pangeran Sake.
diketahui, Kegiatan tersebut diluar agenda Kampanye Rudy Susmanto sebagai Cabup Bogor. Namun karena undangan sejumlah tokoh dan warga, Rudy hadir di acara tersebut.
Sedikit mengenal Mbah Pangeran Sake yang dikutip dari internet sebagai berikut.
Tokoh-tokoh Islam yang dapat memberikan warna keislaman di Bogor, Jakarta dan sekitarnya terutama pada masa islamisasi eks Kerajaan Padjajaran Bogor tentu membutuhkan sosok kepempimpinan. Salah satu sosok kepemimpinan Islam ada pada Pangeran Sake.
Siapakah Pangeran Sake dan bagaimana dapat mewarnai keislaman masyarakat Bogor yang sebelumnya kental dengan agama bebuyutan Hindu Budha peninggalan kerajaan Sunda Padjajaran.
Pangeran sake bernama asli Syarifudin Shoheh (1682-1740) berasal dari Banten masih keturunan dari Syarif Hidayatullah waliyullah melalui pernikahannya dengan adik Bupati Banten bernama Nyai Kawunganten.
Beliau yang menurunkan keturanan Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Sebakingking atau lebih dikenal Maulana Hasanudin yang kelak menjadi pendiri Kesultanan Banten dan menurunkan generasi selanjutnya Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki beberapa istri diantaranya Ratu Adi Kasum yang melahirkan Abdul Kahar (Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar), dari istri Rati Ayu Gede dikaruniai 3 orang anak Pangeran Abdul Alim, Pangeran Ingayajapura dan Pangeran Arya Purbaya.
Sedangkan dari istri lainnya dikaruniai Pangeran Sugiri yang kelak berdakwah di Jakarta (Jatinegara), Pangeran Sake Citeureup, Tubagus Raja Suta, Tubagus Husen dan Tubagus Kulon.
Diantara anak-anaknya tersebut hanya Sultan Haji dan Pangeran Purbaya yang meneruksan menjadi penguasa Banten, selebihnya meninggalkan Banten untuk berdakwah baik ke sekitar Banten, Bogor, Lampung dan sebagainya.
Pangeran Sake memilih keluar Banten menuju wilayah timur tepatnya Citeureup, Cibinong sampai Cibarusah Bekasi.
Keturunan Pangeran Sake diantaranya Pangeran Suryadinata, Pangeran Kertayudha, Pangeran Wiranata, Pangeran Suryapringga, Raden Komarudin, Raden Syarifudin, Raden Sahabudin, Raden Muhidin, Ratu Jiddah, Tubagus Badrudin, Tubagus Kamil dan Ratu Mantria.
Panggilan Pangeran Sake tentu secara historis dapat dilacak, nama aslinya Syarifudin Shoheh kok dikenal pangeran Sake.
Setelah melacak beberapa referensi ditemukan sebuah tulisan yang mengatakan panggilan pangeran sake, karena setiap berdakwah, beraktivitas bahkan berjuang melawan Belanda selalu tidak lepas membawa minum yang ditempatkan pada sebuah kantong yang dikenal sake.
Sake ini tempat minuman orang tua dahulu yang bahannya terbuat dari kayu kayak rotan. Karena selalu melekat kemanapun Pangeran Sake beraktifitas dan menjadi ciri khasnya beliau, maka panggilan pangeran sake pun melekat sampai kini.
Pangeran Sake atau Mbah Sake sudah tidak asing bagi masyarakat Kabupaten Bogor terutama wilayah Citeureup. Namanya begitu harum dan mulia, jasa-jasa beliau begitu dikenang masyarakat karena selama hidupnya mengabdikan diri kepada masyarakat tidak diragukan lagi.
Bahkan setelah kewafatannya, makamnya selalu ramai diziarahi orang untuk mendoakan baik datang dari warga sekitar Bogor, Jabodetabek, Bandung, Tasikmalaya, Karawang bahkan Kalimantan.
Mbah Sake banyak berjasa menyebarkan agama Islam di Bogor dan Jakarta bahkan Bekasi Cibarusah. Masjid Ash-Shoheh salah satu peninggalan dalam penyebaran Islam yang ia lakukan, ia habiskan waktu untuk beribadah, berzikir sebagai ciri khas penganut tarikat naqsabandiyah.
Semasa hidupnya ia pemilik perkebunan Tjitrap kini dikenal Citeureup yang melakukan perlawanan terhadap Belanda, karena tidak sepaham dengan kakaknya Sultan Haji dan Pengeran Purbaya yang memihak Belanda.
Salah satu bukti Citeureup peninggalan Pangeran Sake dapat dianalisa dari segi bahasanya, bahasa yang digunakan penduduknya menggunakan bahasa sunda yang relative kasar berbeda dengan sebelahnya Cibinong, Gunungputri dan Cileungsi yang cenderung lebih berbahasa melayu.
Hal ini menjadi bukti pengaruh Pangeran Sake dari Banten menjadi komunitas keturunan Banten dengan kecenderungan menggunakan bahasa sunda kasar, hampir sama ini ditemukan di Jatinegara Kaum yang dibangun oleh saudaranya Pangeran Sogiri.
Citeureup pada saat beliau datang dari Banten masih hutan lebat dan dihuni hanya beberapa penduduk saja, kemudian dibuka pendudukpun semakin berdatangan dak dakwah Islam berkembang di tangan beliau.
Salah satu artepak sejarah peninggalan Pangeran Sake berupa Masjid Ash-shoheh dan makam beliau yang diyakini masyarakat sekitar.
Makam beliau ditemukan selain di Citeureup tepatnya di Kampung Nangka Karangasem Timur Citeureup, ditemukan pula di Cibinong, Cileungsi bahkan Cibarusah. Hal ini disengaja pada saat itu untuk mengelabuhi penguasa Belanda yang selalu mengamati gerakan keturunan Sultan Ageng Banten.
Tempat-tempat tersebut disebut petilsan perjuangan Pangeran Sake dalam menyebarkan agama Islam. Namun yang paling banyak diziarahi para pejiarah adalah makam Pangeran Sake yang berlokasi di Kampung Nangka Karangasem Timur Citeureup. (**)