Jakarta – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah lama berbagi pandangan, dalam mencapai tujuan agenda iklim global yaitu menahan kenaikan suhu global. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan berbagai aksi iklim secara sistematis berdasarkan konvensi internasional.
Hal tersebut disampaikan Menteri Siti dalam sambutannya pada pertemuan Gugus Tugas 2, Kelompok Kerja Perubahan Iklim mengenai Natural Capital and Ecosystem Services: FOLU, Mangroves, and Ocean, secara hybrid pada Rabu malam (3/8). Tim Amerika Serikat (AS) yang hadir dipimpin oleh Robert Blake selaku Advisor to the US SPEC John Kerry. Sedangkan delegasi AS terdiri dari Toby Hedger, Department of State – OES/EGC; Daniel Kandy, Department of State – OES/EGC; Stephanie Mann – United States Forest Service (USFS); Lauren Wenzel – National Oceanographic and Atmospheric Administration – Marine Protected Areas Center; Gabrielle Johnson – NOAA MPA International Capacity Building; Heather Coll – NOAA Senior International Affairs Specialist for East and Southeast Asia; Alec Shub – NOAA representative; Lisa Vaughan – NOAA representative; Nick Austin, Department of State; dan Mark Newton, USAID.
Sementara Menteri Siti didampingi oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Ruandha A. Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro, dan dihadiri Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama KLHK, serta perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Lebih lanjut, Menteri Siti menjelaskan langkah-langkah perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia telah dirancang dan dilaksanakan selama lebih dari tujuh tahun terhitung sejak akhir tahun 2014 hingga saat ini, semakin menunjukkan perubahan yang signifikan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan.
Yang terkini, dalam upaya memenuhi komitmen Paris Agreement, Indonesia meluncurkan apa yang disebut “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030”. Sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui pengurangan emisi GRK dari sektor kehutanan dan lahan, dimana tingkat penyerapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.
Dalam rangka operasionalisasi FOLU Net Sink 2030 Indonesia, telah disusun Rencana Operasional yang rinci dan menjadi dasar pelaksanaan langkah-langkah penurunan emisi GRK. Selanjutnya, dituangkan dalam pedoman kerja atau manual yang sistematis dalam penanganan setiap kegiatan pemanfaatan hutan dan lahan; seperti kebakaran hutan dan lahan, deforestasi dan degradasi hutan, konservasi habitat, keanekaragaman hayati, pengelolaan gambut, dan mangrove. Pemerintah Indonesia juga tengah menyusun rencana operasional pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular.
“FOLU Net Sink 2030 Indonesia menunjukkan ambisi iklim kita melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan sistematis. Ini memberikan target pembangunan yang terfokus dan terukur, dimana untuk pertama kalinya semua program kegiatan memiliki satuan ukuran yang sama, yaitu setara CO2,” terang Menteri Siti.
Menteri Siti mengatakan, Pemerintah Indonesia juga fokus pada potensi penghasil karbon lain yang mampu menyerap karbon setara atau bahkan lebih besar dari hutan terestrial, yaitu dari sektor pesisir dan ekosistem laut, atau karbon biru (blue carbon). Pengembangan karbon biru sangat penting dan memiliki potensi yang signifikan di Indonesia, khususnya ekosistem mangrove. Pengelolaan karbon biru yang lebih baik akan membawa banyak manfaat, antara lain peningkatan nilainya, di mana Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon untuk mengaturnya.
Saat ini, Indonesia juga memiliki peta mangrove nasional, dengan luas lebih dari 3 juta hektar, dengan cadangan karbon yang tersimpan diperkirakan mencapai 3 miliar metrik ton. Sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga dan memperbaiki ekosistem mangrove merupakan cara ampuh untuk melindungi ekosistem laut Indonesia, sekaligus membuat penyerap karbon yang baik. Pemerintah sejauh ini telah menanam lebih dari 80 ribu hektar mangrove. Seperti yang diarahkan oleh Presiden Joko Widodo, akan ada penanaman mangrove lebih dari 600 ribu hektare.
“Saat ini kita dihadapkan pada kondisi dimana ekologi harus tetap terjaga, tetapi ekonomi juga harus terus tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan itu, kami berharap kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat melalui Bilateral Climate Change Working Group 2 (dua) Task Force on Natural Capital and Ecosystem Services dapat difokuskan untuk saling mendukung dalam menjaga ekosistem alam, serta menciptakan terobosan untuk mengoptimalkan penyerapan emisi karbon dengan tetap mempertimbangkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Menteri Siti mengakhiri sambutannya.
Pada kesempatan tersebut, Robert Blake selaku Advisor to the US SPEC John Kerry menyampaikan bahwa AS memandang Indonesia sebagai mitra strategis yang sangat kuat di berbagai bidang. Dalam hal ini, kerja sama iklim yang menjadi sangat penting, khususnya dalam transisi energi.
Pemerintah AS juga menyadari pentingnya hutan dan ekosistem karbon biru yang sangat membantu untuk mencapai tujuan iklim. AS percaya bahwa Indonesia dapat menjadi contoh yang positif, menunjukkan bagaimana negara-negara dapat menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan konservasi serta peningkatan ekosistem.
“Salah satu contohnya, tentu saja, adalah komitmen FOLU Indonesia yang kuat termasuk Rencana Operasi 2030 Net Sink, dan kemajuan yang telah Indonesia buat selama lima tahun terakhir untuk menurunkan laju deforestasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Robert Blake menyampaikan AS ingin menjadi mitra kuat Indonesia untuk mengimplementasikan komitmen dan rencananya di bawah Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. (Fal)