Mark Up

Oleh : Saiful Kurnia

Pimpinan Redaksi Poscyber.com

Poscyber.com (opini) – Fakta diakui temen saya, seorang wartawan, sebagai kebenaran. Namun kebenaran ini dibantah pejabat Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Keduanya perang argumen. Sebelumnya, pejabat yang menjadi tertuduh mark up proyek pengadaan mebeler sebesar Rp 33 miliar itu, hanya memasang emozi jempol saat link berita dikirimkan. Anehnya ini berulang tanpa ada komentar.

Jadi ga nyambung meski subtansi yang disampaikan sudah terang. Kalau lihat di undang undang pers no. 40 tahun 1999 pasal 5 ayat 2 dan ayat 3 pers wajib melayani hak Jawab dan pers wajib melayani hak koreksi.

Kedua ayat itu jelas, tidak ada tafsir. memiliki  hak jawab sekaligus koreksi untuk  pemberitaan yang dianggap tidak sesuai. Menjadi baku ketika pemberitaan dianggap menyesatkan atau merugikan.

Sampai saat ini belum ada titik temu seperti yang di isyarakan undang undang pers. Padahal Memedomi undang undang pers saat terjadi perselisihan sangat penting. Sebab regulasinya menjadi acuan satu satunya untuk semua konflik yang menyangkut pers.

Pejabat itu justru memilih bicara ke media lain meski awalnya pemberitaan di media Tugas bangsa, dan temen saya telah melakukan wawancara.

Dalam pernyataannya di beberapa media, pejabat PMD membuat klarifikasi beberapa hal yang menyangkut proses bagaimana berita dibuat, dia  mengatakan beberapa pemberitaan yang menyebutkan dugaan mark-up tanpa didasari data yang valid. Ia menyayangkan media yang hanya me-repost berita tanpa melakukan konfirmasi langsung kepada pihaknya.

“Sebagian besar media hanya me-repost berita yang sudah tayang. Ketika saya tanya balik dasar dugaan mark-up, mereka tidak bisa menjelaskan. Padahal klarifikasi sangat penting untuk memastikan informasi yang beredar tidak salah atau menyesatkan,”

Petama, Seinget saya, yang diberitahu soal topik tersebut saya. Dalam Beberapa kali perbincangan dia bercerita kalau dirinya telah ketemu pejabat tersebut untuk klarifikasi soal dugaan mark up pembelian mebeler. Dan saat itu, temen saya mengatakan pernyataan pejabat tersebut ada janggal

Kedua kalau pernyataannya disampaikan lewat media yang tidak ada nama siapapun dibok redaksinya, kita lihat undang undang pers 40 tahun 1999 di pasal 12 menyebut perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka.

Ketiga, temen saya terbengong bengong sebab kalau awalnya dia menganggap telah melakukan reportase yang sesuai kaidah jurnalistik, bahkan minta pernyataan dari pejabat tak kunjung mendapatkan, belakangan justru klarifikasi ke media lain.

Pejabat itu menyebut penghujat untuk temen saya yang sebelumnya menyebut media yang dipakai untuk klaririfikasi  abal abal, di bok redaksinya kosong. Disini mesti dipahami, ada pejabat yang berpikir sempit untuk masalah yang sebenarnya besar.

Apalagi saat temen saya yang wartawan sampaikan data temuannya, pejabat itu bungkam dan sampai saat ini bungkam.

Setiap pemberitaan memiliki implikasi dan dampak tidak kecuali soal berita dugaan mark up mebeler untuk 412 desa se Kabupaten Bogor. Dan benar saat berita semakin membesar karena temen saya terus mengulik masalah itu, pejabat itu diam.

Karena bisa jadi masalah akan membesar dan menyeret APH masuk. Saya pribadi berharap yang terbaik apalagi ini hanya soal wartawan yang menjalankan profesinya. Tidak repot pula kalau memang pejabat itu menganggap tidak valid.

Cuma dari kejadian ini perlu juga mengingatkan, bahwa ada baiknya menyelesaikan masalah sengketa pers dengan cara cara yang sudah diatur dalam undang undang pers. Saya fikir akan simple. Sebab cara arogansi akan jadi pemicu masalah akan semakin rumit dan sulit diselesaikan. Salam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *