Sulteng – Negara harus menjamin kehidupan dan lingkungan yang layak bagi warga negaranya dan menjadi dasar komitmen Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim, sejalan dengan itu Indonesia berkomitmen tinggi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional dan berperan dalam mengurangi emisi GRK secara global. Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Drasospolino saat Sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (11/10/2023).
Drasospolino menyampaikan lebih lanjut, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/ NDC), Indonesia telah menyampaikan Target penurunan emisi GRK ke UNFCCC dengan kemampuan sendiri sebesar 29% dan dengan dukungan internasional sebesar 41%. Kemudian pada Tanggal 23 September 2022 Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC dengan kemampuan sendiri 31,89% dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20%.
Untuk mencapai target NDC Sektor Kehutanan, KLHK telah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030, serta mendukung Net Zero Emission, hal ini merupakan kontribusi Indonesia dalam agenda perubahan iklim global, yang sesuai dengan visi Indonesia yang lebih ambisius dalam dokumen LTS-LCCR 2050 yaitu melalui aksi mitigasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
“Mengingat komitmen Indonesia terhadap target NDC dan pencapaian ambisius untuk net carbon sink pada tahun 2030 sebagaimana dalam Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, maka diperlukan dukungan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, sektor swasta, masyarakat, NGO, dan seluruh aktor sektor kehutanan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim nasional dan global,” tegas Sekretaris Ditjen PHL, Drasospolino.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim yaitu melalui implementasi kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dimana didalamnya adalah termasuk mekanisme penurunan emisi dengan skema perdagangan karbon. Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama: perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam mekanisme Perdagangan Emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade, Para pelaku usaha wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau emission cap. Setiap pelaku usaha (misal: Sub-sub Sektor Pengelolaan Gambut dan Mangrove), dimana bagi pelaku usaha yang memiliki areal gambut yang telah rusak akan diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap), dan pada akhir periode, Pelaku Usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi GRK Aktual yang telah mereka lepaskan. Pelaku Usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari Pelaku Usaha lain.
Untuk mekanisme Offset emisi (offset karbon), yang diperjualbelikan adalah unit karbon yang dihasilkan dari penurunan emisi atau peningkatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon setelah target NDC untuk sub-sub sektor telah tercapai dan terdapat surplus penurunan emisi. Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan/aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim. Oleh karena itu biasanya pada awal aksi mitigasi yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, harus bisa dibuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice), meliputi penerapan praktik/teknologi/kegiatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang dilakukan sebelum adanya aksi mitigasi untuk mengetahui emisi baseline aktual untuk kemudian pada akhir periode, diukur/divalidasi/diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya melalui proses yang biasa disebut MRV (Monitoring, Reporting and Verification). Penurunan emisi dari penyerapan dan/atau penyimpanan karbon ini kemudian sesuai dengan peraturan perundangan diterbitkan Karbon Kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) untuk kemudian dapat diperdagangankan oleh Pelaku usaha untuk dijual atas surplus penurunan (offset) emisinya kepada Pelaku Usaha lain, sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi tingkat emisi GRK-nya.
Bentuk-bentuk aksi mitigasi yang dapat menurunkan emisi GRK melalui penyerapan dan penyimpanan karbon sebagaimana diatur dalam Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023 dilakukan melalui 22 (dua puluh dua) aksi mitigasi, antara lain: Pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove; Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral, lahan gambut dan mangrove; Pembangunan hutan tanaman; Pengelolaan hutan lestari (melalui Multiusaha Kehutanan, Reduce Impact Logging-Carbon dan Silvikultur Intensif), Rehabilitasi hutan dan lainnya, sehingga aksi mitigasi secara nyata oleh Pelaku Usaha pada Sektor Kehutanan sangatlah penting dalam penurunan emisi GRK dan pengendalian perubahan iklim Sektor Kehutanan.
Saat ini Kementerian LHK telah menetapkan Peta Jalan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 tanggal 22 September 2023, dimana Peta Jalan ini berisikan Kriteria Umum terkait disagregasi Baseline Emisi serta target pengurangan emisi dan Kriteria Khusus terkait Rencana implementasi, sasaran serta Strategi pencapaian target.
Sejalan dengan hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Hasbi yang juga hadir pada acara ini mengungkapkan bahwa, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan berbagai langkah dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan perbaikan kualitas lingkungan. Hal ini sebagai komitmen Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu arah pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan selain mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan kesenjangan sosial dan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan penguatan infrastruktur wilayah, juga berupaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan kemampuan mitigasi adaptasi Perubahan iklim.
Selain itu dalam arahannya Sekretaris Ditjen PHL, Drasospolino menyampaikan 19 unit PBPH yang ada pada regional Sulawesi, terdapat 17 Unit PBPH-HA dan HT di wilayah Regional Sulawesi tersebut, PBPH-HA dan HT yang telah memiliki Sertifikat PHL Baik sebanyak 2 Unit dan Sertifikat PHL Sedang sebanyak 3 Unit dan 12 Unit belum memiliki sertifikat PHL. Oleh karena itu Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan diharapkan memberikan semangat baru bagi PBPH untuk mengimplementasikan Pengelolaan Hutan Lestari berbasis Multi Usaha Kehutanan, sehingga akan memberikan dampak dalam penyerapan/ penyimpanan karbon serta Nilai Ekonomi Karbon Sektor Kehutanan. Penurunan emisi GRK pada Lahan Gambut dilakukan melalui Pengaturan tata air gambut dan perlindungan terhadap kebakaran lahan dan hutan pada Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Regional Sulawesi dengan luasan 63.290 ha juga akan menjadi dorongan dalam menekan terjadinya emisi GRK akibat lahan gambut yang rusak.
Kegiatan sosialisasi ini turut dihadiri oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi Maluku, Kepala Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan, Kepala Balai Besar TN. Lore Lindu, Kepala UPT Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan seluruh Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Kepala Balai PHL Wilayah XII – XIII, Kepala UPTD KPH lingkup Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo, Pimpinan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Regional Sulawesi, dan Pengurus APHI Komda Sulawesi.(*)